Menulis Menguliti Rasa

Menulis Menguliti Rasa

Sengaja kutuliskan sebuah judul yang terbilang ada-ada saja. Apa iya, menulis menguliti rasa? Ah, ada-ada saja. Rasa yang seperti apa, manis, pedas, ataukah asin? Atau justru berasa nano-nano karena segala rasa menyatu dan berkolaborasi? Ah, ada-ada saja. Lantas, ketika dikuliti seperti apa ujudnya? Ah, ada-ada saja.

Menulis menguliti rasa. Setiap insan adalah sebaik-baik ciptaan. "Ahsani taqwim". Penciptaan yang bukan hanya baik, tetapi terbaik. Ada tingkatan superlatif. Ternukil di Al Quran surat At Tiin ayat 4. Dengan sebentuk ciptaan yang sebaik-baiknya, tak ayal lagi, kita pun dibekali rasa. Ya, rasa yang 'kan muncul di setiap jiwa. Rasa tertampak manakala dicurahkan dalam ekspresi. Kita akan tahu seseorang sedang sedih, marah, senang, atau bahagia karena pancaran dari ekspresinya. Ekspresi seseorang pun muncul dalam segala bentuk, baik melalui mimik wajah, gerak tubuh, bahasa yang diucapkan, tak luput pula melalui tulisan yang digoreskan. Nah, tulisan karya tiap insan, hakikatnya merupakan ekspresi rasa yang sedang berjalan-jalan di jiwanya.

Menulis menguliti rasa. Bagiku, setiap tulisan yang ada, sejatinya sebagai bentuk perwakilan rasa dari sang penulis. Mungkin penulis ingin menunjukkan rasa kritik sosial atas kondisi sekitarnya, mungkin ingin mengungkapkan narasi hariannya, mungkin ingin mendeskripsikan sebuah tempat yang indah, atau bisa jadi menulis karena ingin menyampaikan berbagai nasihat kebaikan pada orang lain. Lantas, siapa yang akan menikmati daging dari rasa yang telah dikuliti melalui tulisan tersebut? Tentunya, sang penikmat rasa. Ya, mereka adalah sang penulis maupun pembaca.

Menulis menguliti rasa. Bagiku, menulis tidak sekadar memainkan pena atau keyboard. Menulis tidak hanya untuk kesenangan diri. Bagiku, menulis itu sedang  berusaha menguliti rasa lewat tulisan bukan sekadar untuk bermain-main. Tapi lebih dari itu, ada harapan besar untuk goal ke depannya. Untuk kebermanfaatannya. Menulis ibarat menanam bibit pohon di lahan yang gersang. Ketika cerdas mengolah lahannya, rajin menyiram, dan memupuknya, tunggu suatu saat nanti akan banyak yang bisa memetik kebermanfaatannya. Entah itu buah, daun, bunga, batang, akar, atau mungkin keteduhannya. Bagiku, dengan menulis bisa mengurangi beban dalam diri. Dengan menulis bisa berdakwah dan menyampaikan pesan kebaikan pada orang lain. Dengan menulis bisa berbagi pengalaman diri. Dengan menulis, ada harapan besar yang tertancap, yakni bisa menginspirasi diri dan orang lain. Sehingga tulisan kita bisa mendatangkan  manfaat untuk orang lain. Aamiin yaa rabb. Seperti Sabda Rasulullah Saw.

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

"Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain."(Hadis riwayat Ibnu Hibban)

Bagiku, tidak mudah untuk memulai "menguliti rasa" lewat tulisan. Butuh kemauan nyata. Dan yang tak kalah sulitnya adalah menjadikan aktivitas menulis sebagai sebuah rutinitas harian. Apalah diri ini? Tetapi, semua harus dimulai. Jika tidak sekarang, kapan lagi? Kuncinya adalah mulailah dengan 3M. Menulis, Menulis, dan Menulis. Menulis apa saja dan lewat media apa pun bisa. Tak perlu berekspektasi terlalu tinggi dahulu bisa mencetak sebuah buku. Itu bonus di depannya. InsyaaAllah, aamiin...

Dan...30 hari yang lalu, saya menemukan sebuah komunitas menulis yang cukup renyah dan hidup. 30DWC. 30 Days Writing Challenge. Apa itu? Sebuah komunitas bagi penulis-penulis pemula hingga penulis luar biasa. Kami ditantang untuk menulis setiap hari dengan tema bervariasi, kadang-kadang bebas tapi tak jarang pula ditentukan, dan itu berlangsung selama 30 hari. Keep spirit! Segala kemauan harus dikerahkan. Di pekan awal, seolah terasa "dipaksa" untuk bisa rutin menulis setiap hari. Tapi, tak apalah...untuk menjadi sebuah kebiasaan, harus dipaksa terlebih dahulu. Alah bisa karena biasa. Alah biasa karena dipaksa.

Bergabung di dalamnya, berarti harus "on fire" setiap saat. Karena kami adalah para fighter yang pantang menyerah dan putus asa. Terlebih saat tulisan-tulisan kami mendapat kritik pedas lewat feedback dari fighter lainnya, kami harus siap. Bahkan hingga tingkat kepedasan level teratas sekali pun, harus tetap "on fire". Ehmm...feedback ini sering membawaku berselancar kembali jauh ke belasan tahun silam, saat jadi mahasiswa. Betul-betul berasa jadi mahasiswa Program bahasa Indonesia yang sedang bergelut dengan mata kuliah Penyuntingan Bahasa. Ah, jadi mengingatkanku kembali pada serpihan-serpihan kenangan kala itu.

Semangat dari kawan-kawan fighter, selalu menular pada lainnya. Pun padaku. Semangat itu kian hari kian membakar hingga apinya terus membara. Rutinitas menulis mulai terasah. Sayang, ini sudah hari ke tiga puluh. Berarti perpisahan harus kami hadapi. Tapi, perpisahan ini adalah perpisahan bermakna. Berpisah untuk bersatu. Ya, bersatu untuk saling menggenggam sebuah asa yang sama. Aamiin...
Salam Keep on fire!


#30DWCjilid11day30.

Related : Menulis Menguliti Rasa

0 Komentar untuk "Menulis Menguliti Rasa"