Telanjur Tak Sanggup Berpisah denganmu, Ibu...

Telanjur Tak Sanggup Berpisah denganmu, Ibu...

"Ayo, Kak, cepetan nanti terlambat!"
"Sebentar Bu. Ini lho belum selesai. Masih ngiket tali sepatu."
"Ngiket tali sepatu dari tadi belum selesai? Lama banget. Sini, biar ibu yang ngiket!"
                 ...

"Nak, segera dihabiskan dong maemnya! Mobil jemputan dah mau nyampe. Nanti nunggu kelamaan ditinggal lho."
"Ini lho, Buk, belum habis."
"Bawa sini, ibu suapin aja!"
                 ...

Saat beberes rumah, ibu melihat kotak pensil si bungsu tergeletak manis di meja belajarnya. Sontak sang ibu mendekat, sambil bergumam, "Waduh, kotak pensilnya ketinggalan. Gimana nanti dedek nulisnya. Ya udah tak anterin ke sekolahnya dulu, mumpung masih pagi."

Dengan kekuatan superwoman, ibu mengantarkan kotak pensil putri bungsunya ke sekolah, yang berjarak sekitar 5 kilometer. Ibu tidak ingin putrinya sedih karena tak menemukan kotak pensil di tasnya.
                 ...

Selesai makan, si kecil bermaksud ingin mencuci piringnya sendiri. Dengan bangga, dia bilang kepada ibunya, "Buk, piringnya takcuci ya?"
Begitu mendengar niat baik anaknya, ibu spontan menjawab' "Nggak usah, dek. Nanti biar ibu yang nyuci. Kamu belajar aja, sana!"

              ***

Begitulah episode-episode kenyamanan dalam diri anak. Bahkan tampak terlalu nyaman. Nyaman, karena kita -orang tuanya- selalu berharap tidak ada yang kurang dari diri anak kita. Ada rasa khawatir, cemas, jangan-jangan anakku... Barangkali, bentuk memberi kenyamanan ini sepintas akan membuat anak enjoy, senang, tidak merasa sedih, selalu baik-baik saja, disiplin waktu karena tidak terlambat sekolah, dan serba merasa dimudahkan oleh orang tuanya. Memang sesaat anak kita merasa nyaman. Tapi, eits...itu hanya sesaat saja dan sepintas penglihatan kita. Bagaimana bila kita telusuri lebih dalam?

Kenyamanan sesaat yang kita ukur menggunakan tolok ukur kaca mata kita, terkadang justru meruntuhkan sifat survival anak kita. Sementara kita berharap anak-anak kita bisa survive di kancah kehidupan yang semrawut. Semrawut karena zaman mulai "buas", mulai takkenal kelembutan, dan mulai banyak bermunculan virus-virus kemaksiatan dan kejahatan. Khawatir pasti ada, tapi tidak sampai berlebihanlah.

"Over protective" dengan dalih kenyamanan anak, justru meruntuhkan jiwa kemandirian anak. Anak-anak akan merasa ketergantungan. "Pasti nanti ibu akan datang menyusulkan PR-ku yang ketinggalan. Pasti nanti ibu akan menyuapiku. Pasti nanti ibu yang akan menjadwalkan. Pasti nanti ibu yang akan meletakkan sepatuku di rak. Pasti nanti ibu... Ya. Aku telanjur tak sanggup berpisah denganmu, Ibu."

Lantas, apakah kita perlu menjadikan anak-anak keluar dari zona nyamannya? Pertanyaan itu takbutuh jawaban mutlak. Semua bergantung pada konteks siatuasi dan kondisi. Kenyamanan anak tetaplah kita utamakan. Yang terjadi adalah, manakala ada situasi yang akhirnya menjadikan anak kita belajar arti pengalaman, "why not"? Misalnya, kasus anak malas saat dibangunkan. Akhirnya bangunnya kesiangan. Pagi itu pun, anak baru ingat kalau dia ada PR yang harus dikumpulkan hari itu juga. Padahal, jika tadi tidak kesiangan mungkin bisa mengerjakan dengan nyaman. Dengan kondisi yang ada, ibu pun bilang, "Mana PR-nya, biar ibu yang nuliskan. Biar cepet dan kamu nggak terlambat masuk." Jadilah, PR anak dikumpulkan dan anak tidak terlambat sekolah. Semua berkat ibu. Ya, anak telanjur tak sanggup berpisah dengan ibu.

Akan berbeda kondisinya, manakala anak harus siap  menerima konsekuensi atas kemalasannya saat bangun pagi. Mengejar untuk mengerjakan tugas PR sendiri tanpa dituliskan, tetapi anak akan terlambat. Atau anak masuk kelas tepat waktu, tetapi tidak mengerjakan PR. Dua-duanya ada konsekuensi "hukuman" dari sekolah. Dari pengalaman ini, anak kita jadi belajar. Belajar untuk bisa bangun pagi, belajar menghargai waktu malam harinya, dan pasti anak akan belajar lebih banyak hal lainnya. Bisa mengambil pelajaran dari pengalaman dirinya. Wallaahu a'lam.


#30DWCjilid11day22

Related : Telanjur Tak Sanggup Berpisah denganmu, Ibu...

0 Komentar untuk "Telanjur Tak Sanggup Berpisah denganmu, Ibu..."