Apresiasi Tiada Henti

Apresiasi Tiada Henti

Di tengah teriknya panas matahari, seorang anak kecil  -kira kira seumuran 6 tahun-  berlari kegirangan sembari membawa selembar kertas di tangan kanannya. Kertas itu tampak berwarna-warni. 
Belumlah sampai pintu rumah, si bocah sudah memanggil-manggil ibunya. Benar-benar tampak senang dan bangga.

"Ibu...Ibu..., lihat ini! Aku bawa gambar yang sudah kuwarnai. Ini sudah dikasih tanda bintang oleh Bu Guru. Bintangnya buanyak banget lho, Buk. Ada 3 bintang! Bagus kan, Buk?"

Ibu yang sedang mencuci piring di dapur, segera berteriak spontan"Ada apa to le, kok teriak-teriak? Ibu lagi sibuk nyuci piring di dapur."
"Lihat ini, Buk. Tadi di sekolah disuruh mewarnai. Ini punyaku. Mewarnai gambar gunung dan pohon-pohon buk." (Sepertinya, si thole berharap pujian menyenangkan dari ibundanya)

Tapi...apa yang terjadi?
(Tampak ekspresi terkejut dari mimik wajah ibunya)
"Tholee...thole. Ini gambar gunung kok warnanya merah?! Gunung itu warnanya bukan merah. Terus...ini gambar daun-daunnya, mosok warna coklat semua! Daun itu ya warnanya hijau. Gimana to?! Ya sudah, sana! Ganti baju terus makan ya. Ibu mau nyuci piring lagi."

Bisa kebayang nggak bagaimana ekspresi si thole. 
Kluntring...kluntring...kluntring...
Si thole pun undur diri dari hadapan ibunda tercintanya  dengan pupus harapan. Patahlah semangatnya untuk berkarya. 

           ***
Ah, andai waktu bisa diputar lagi ke belakang...
Zrzrttttt....

"Ibu...Ibu..., lihat ini! Aku bawa gambar yang sudah kuwarnai. Ini sudah dikasih tanda bintang oleh Bu Guru. Bintangnya buanyak banget lho, Buk. Ada 3 bintang! Bagus kan, Buk?"

Ibu yang sedang mencuci piring di dapur segera bergegas menghentikan aktivitasnya, menyambut si thole kecil yang baru saja pulang sekolah. "Subhanallah, thole kecilku sudah pulang. Ada apa, le? Sepertinya, adek lagi seneng, ya. Cerita ke ibu, dong."

"Ini lho buk. Tadi kan di sekolah disuruh mewarnai gambar gunung sama pohon- pohon ini. Terus semua selesai kuwarnai. Kata guruku, aku hebat. Bisa selesai mewarnai. Dan kata Bu Guru, mewarnaiku juga bagus. Terus, gambarku dikasih tanda bintang 3, buk."

"Wah, thole hebat. Bisa selesai mewarnainya. Ibu jg seneng banget lho. Thole, ini warna gunungnya sepertinya warna merah ya? Kenapa le?"
"Oh, ini kan ceritanya, gunungnya lagi meletus. Terus keluar api. Apinya kan merah ya, Buk. Jadi gunungnya pun ikut kebakar. Makanya takwarnai merah semua, nih."
"O, gunungnya lagi meletus, ya le. Kalau daun-daun yang ini kok warnanya coklat semua, kenapa? Setahu ibu, daun-daun kebanyakan warna hijau, ya."
"Kan tadi ada gunung meletus, bu. Semua terbakar kena api. Daun-daunnya juga jadi kering semua. Jadi, warnanya coklat, Buk. Kasihan ya, buk. Semuanya jadi mati."

"Wah, alhamdulillah...thole hebat! Sini, ibu tambahin bintangnya 3 lagi, ya."
"Yeay...bintangku jadi banyak."

        ***
Ehem...
Dua kilas balik yang berbeda. Dua perlakuan yang berbeda, yang keduanya sama-sama akan menghadirkan dampak yang membekas. 
Perlakuan pertama, akan berdampak pada: anak kita menjadi patah semangat, "down", malas berkarya, tak mau sharing lagi dengan kita, minder, dan merasa tidak percaya diri.
Perlakuan kedua, ananda kita akan semakin bersemangat, merasa dihargai, tambah percaya diri, semakin dekat dengan kita, dan pastinya semakin muncul energi-energi positif lainnya.

Tinggal kita akan memilih yang mana, semua tergantung pada "apresiasi" yang kita berikan pada mereka. Apresiasi berupa reward-reward pemantik motivasi. Bisa berupa isyarat jempol, pelukan, ekspresi wajah ceria dan bangga, kata-kata pemanis dan penyemangat, atau bisa juga berupa materi. 

Ketika perlakuan kedua, dengan apresiasi positif yang kita munculkan, justru kita akan terhenyak pada beberapa kecerdasan yang dimiliki anak kita. Kecerdasan tersembunyi -yang tanpa kita sadari-  telah berhasil kita ungkap kala itu. Saat dia bisa menceritakan kondisi gunung meletus dengan berbagai kondisi sekitarnya, sejatinya dia punya kecerdasan imajinasi dan bercerita. Saat dia mampu menceritakan bagaimana gunung meletus dengan kemasan bahasanya, sejatinya dia punya kecerdasan bahasa. Saat anak mampu mengatakan,"Kasihan ya, Buk," sejatinya dia memiliki kecerdasan emosional. Rasa sense of empati yang tinggi. Wow...it's amazing. Semua itu terbentuk lantaran kita telah memberikan apresiasi positif padanya.

Akan tetapi, kebanyakan dari kita justru lebih banyak menjustifikasi karya anak kita sebagai sebuah karya yang tidak sempurna dan penuh kekurangan. Padahal belum kita gali terlebih dahulu ada apa di balik karya emas mereka (apa, bagaimana, kapan, dan mengapa). Tanpa apresiasi positif dan justru sebaliknya suka menjustifikasi kelemahan karya anak kita, akan menjadikan kecerdasan yang dimilikinya semakin terpendam dan tak terasah lagi. 

So, berikan apresiasi positif terhadap karya-karya anak kita. Disusul langkah berikutnya  -seiring perkembangan usia dan kreativitasnya-  kita bisa berikan saran dan masukan yang terbaik dengan bahasa yang bijak bukan menjatuhkan. Apresiasi tiada henti. Bismillah...

#belajarjadiumi yang dekat dengan anak
#30DWCjilid11 day5

Related : Apresiasi Tiada Henti

0 Komentar untuk "Apresiasi Tiada Henti"