"Pyar...!!!" (terdengar suara piring pecah)
Sontak, sang ibu, menuju arah suara. Sambil berkacak pinggang, tanpa basa basi, ibu pun langsung marah dan berteriak," tuh, kaaan...pecah lagi. Apa ibu bilang? Berkali- kali sudah dibilangin, hati-hati pegang piring, pegang gelas! Nanti pecah, lho. Kejadian, kan! Pecah lagi. Lama- lama habis piring sama gelas ibu! Mau makan pake wadah apa nanti ?"
(Glegg...!!)
***
Saat pagi sibuk, di sebuah rumah.
"Bu, tolong ajarin PR ini, dong. Hari ini ternyata dikumpulkan." (Nada lirih, merasa agak takut)
"Apa!!"
"MaaSyaaAllah, nak...!!! Tadi malem ngapain aja? Sudah sering ibu bilangin, jangan lupa belajar! Jangan lupa kerjakan PR! Jangan lupa nyiapin perlengkapan sekolah, besok!! Eh, masih juga nggak didengerin! Sekarang dah mau berangkat, baru bilang ada PR. Mau jadi apa, kamu, Nak!!!" (Sang ibu betul- betul geram dan marah di tengah sibuknya pagi hari)
(Glegg...!!)
***
Terbayang, nggak, ketika ini terjadi pada permata hati kita. Kalau diukur dengan timbang rasa, anak kita, sebenarnya sudah merasa takut, cemas, merasa bersalah, dan merasa menyesal saat melakukan "kecerobohan" yang sama sekali tidak disengaja.
Belum juga dapat tempat bersandar untuk sedikit ngerem rasa bersalah dan menyesal di hatinya, kita- orang tua- justru manambah rasa itu jadi berapa kuadrat.
"Marah....?!" Barangkali sesaat secara fitrah sedikit muncul di diri kita, sebagai orang tua. Tapi...semua bisa dikelola dengan indah. Dikelola dengan seni. Ubah "marah" dengan "ramah".
Gelas pecah bisa diganti. Piring pecah bisa beli lagi. Tapi, manakala hati ananda tercinta yang "pecah" sebab kemarahan orang tuanya yang takterkendali. Akan sulit terobati. Mau ganti hatinya yang "pecah"? Mau beli lagi hatinya dengan yang baru?? Bisakah?! Butuh waktu yang lama dan proses yang sedemikian rupa. Apalagi, manakala kuantitas kemarahan itu tiap hari terjadi. Sedikit-sedikit, marah. Sedikit-sedikit, marah. Bisa kita bayangkan. Debu cermin kita akan semakin banyak, jika kita biarkan tertempel di tempat-tempat terbuka, yang rawan debu beterbangan. Debu cermin kita akan terus menebal, manakala kita tak pernah meluangkan waktu untuk membersihkannya. Bisa jadi, lambat laun, cermin kita tak bisa kita gunakan untuk berkaca diri lagi, karena sudah tertutup penuh oleh debu-debu yang menumpuk dan memenuhi seluruh permukaan cermin kita.
Begitupun ananda tercinta kita. Na'udubillah...tsumma na'udzu billah. Terus meraba diri dan menunjuk ke diri sendiri. Asytaghfirullaahal 'adziim...
Lantas, apa yang bisa kita lakukan untuk mengelola "marah" kita?
Kita adalah orang tua, dengan seabrek aktivitas harian, baik di rumah maupun di tempat kerja. Rasa letih, lelah, pasti sering membuntuti. Itu sudah jadi sesuatu yang lazim dan fitrah setiap jasad, yang suatu ketika akan merasa lelah juga. So, istirahatkan diri sejenak.
Yuk, rehat meski sejenak, dari rutinitas harian yang tak akan ada habisnya. Kalau bukan kita sendiri yang mengaturnya, siapa lagi. Dengan sedikit rehat, yang tadinya punya rasa "marah" tingkat akut, akan sedikit demi sedikit terkurangi. Eman -eman dengan jiwa anak-anak kita yang masih begitu polos dan suci.
Apalagi, jika kepolosan jiwanya, ternoda oleh rangkaian titik -titik dot to dot kemarahan kita. Orang tuanya.
Kembalilah ke rumah
Terkadang, rumah hanya jadi tempat singgah. Tempat untuk merebah. Tempat untuk makan minum dengan hidangan mewah. Tempat transit untuk menuju ke tujuan berikutnya. Tanpa peka pada sekeliling rumah kita. Ada apakah? Ada siapakah?
Tengok kanan kiri dan depan belakang kita. Wow...ada anak-anak yang minta peran kita untuk ikut tampil dalam drama berkuda mereka. Ada peran kita yang dibutuhkan untuk jadi pembeli saat main pasaran. Ada peran kita yang dibutuhkan, saat mereka asyik main drama boneka. Masih seabrek peran lainnya. Ya. Peran kita teramat sangat dibutuhkan. So...kembalilah ke rumah. Peluk mereka. Bermainlah dengan bebas. Bebas tanpa "beban". Alami. Natural.
Lepaskan sejenak gelar dan jabatan - jabatan saat di kantor dan tempat kerja. Gelar yang ada saat bersama mereka adalah gelar "ibu" dan "ayah".
Evaluasi pola asuh kita
Barangkali kita tipe orang tua yang sukaa banget ngatur anak-anak kita berlebihan. Barangkali juga kita tipe yang menyelesaikan segala sesuatu dengan jurus andalan kita "marah". Mungkin juga kita tipe orang tua yang suka berkomunikasi tanpa seni. Suka menyuruh bukan mengajak, melabeli, membentak, menghakimi tanpa bukti, nada tinggi, ekspresi "hantu" beraksi. Hihihi...pun juga, mungkin, kadang kita tak ada bijak-bijaknya dalam memberi nasihat.
Mungkin kita bisa evaluasi, metode kita yang belum tepat. "Memberi" sesuatu yang justru tanpa kita sadari ada ancaman internal dan eksternal atas fasilitas yang kita suguhkan. Sepertinya menyayangi, tapi justru menghancurkan.
Ubah marah kita dengan "ramah"
Sejatinya, apapun yang diucapkan orang tua kepada ananda, menjadi sebuah doa. Pun, apa yang kita ucapkan saat kita marah. Bisa jadi, itu juga ucapan doa. Entah akan terkabul sekarang, nanti, esok, lusa, ataupun beberapa waktu ke depan.
Ada sedikit kisah...
Suatu hari, seorang anak kecil, bernama Sudais (konon dikenal sebagai anak nakal) bermain pasir di luar rumah. Sang ibu di dapur, mempersiapkan beberapa makanan untuk jamuan makan tamu suaminya yang akan bersilaturrahim.
Alhamdulillah...makanan siap ditata di tempat makan. Selesai sudah tugas ibu , mempersiapkan jamuan makan untuk tamu suaminya. Qodarullah, si Sudais kecil, yang tadinya asyik main pasir di luar rumah, tiba-tiba masuk sambil bawa segenggam pasir. Tak diduga, pasir dalam genggamannya ditaburkan di atas makanan tadi. Sang ibu marah? Bisa jadi ada kemarahan yang tersembunyi di hati. Namun, beliau mampu mengelola rasa marah dengan ramah. Sambil ngerem hati, beliau berucap," Wahai Anakku Sudais, pergilah sebentar. Jadilah kamu imam masjidil haram.!" Kalimat tersebut diucapkan seorang ibu saat marah. Ungkapan bijak, ada doa di sana. Bukan sumpah serapah dan caci maki.
MaasyaaAllah...beberapa tahun berikutnya, saat Sudais kecil telah dewasa, terkabullah apa yang diucapkan ibunya saat itu. Sudais kecil telah benar-benar menjadi seorang Imam masjidil haram. "Syaikh Abdurrahman Assudais" maasyaaAllah...barakallah...
Akhirnya, terus meraba diri, menasihati diri, dan menunjuk diri sendiri. Alangkah indahnya, manakala kemarahan mampu kita ubah dengan keramahan.
#belajarjadiumi yang dekat dengan anak
#30DWC jilid 11
0 Komentar untuk "Kelola "Marah" pada Anak dengan Ramah"