Hidup Itu Pilihan
Adalah kisahku ...
Lima belas tahun yang lalu, tepatnya tahun 2003. Alhamdulillah, hari Sabtu kala itu begitu ceria dan lega. Aku menjalani wisuda di sebuah universitas di Solo. Hari Seninnya, alhamdulillah menjadi hari perdana mengajar di sebuah SDIT di Solo, setelah beberapa hari sebelumnya mendapat panggilan bahwa aku diterima. Status mahasiswaku pun berganti menjadi status 'guru'. Ya, aku resmi menjadi seorang guru seperti cita-citaku sejak kecil. Apalagi, menjadi guru di sekolah yang menurutku cukup sulit untuk bisa memasukinya karena harus berkompetisi dengan ratusan pelamar lainnya melewati beberapa tahapan seleksi.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun pun berganti tahun. Tepatnya tahun 2005, seorang laki-laki sholih dan penyiar radio Islam -yang suara empuknya juga sering kudengarkan...hehehe- datang ke rumah untuk mengkhitbahku. Keberanian meminangku itu tak berselang lama setelah kami melewati ta'aruf. Alhamdulillah, atas izin Allah Swt. pernikahan sederhana kami pun berjalan lancar.
Berselang dua tahun, si kecil nan mungil, ganteng, dan insyaAllah sholih, hadir di tengah-tengah keluarga kecilku. Berasa lengkap sudah kebahagiaan kami. Alhamdulillah. Tahun ketiga setelah kelahiran putra pertama, disusul putri cantikku hadir melengkapi renyahnya keluargaku. Tiga tahun berikutnya, atas izin Allah, kami diamanahi kembali seorang putri cantik. 'Ala kulli hal, alhamdulillah. Rasa syukur kupanjatkan ke hadirat Allah Swt atas amanah ini. Aktivitas sehari-hariku pun masih seperti biasa, mengajar fullday. Anak-anak? Alhamdulillah, anak- anak kubawa serta. Ada yang di penitipan, di tk, dan si sulung di sd tempatku mengajar. Ketiganya di kompleks yang berdekatan, sehingga akupun bisa tenang mengajar sambil memantau anak-anak.
Tak cukup sampai di situ, tiga tahun berikutnya Allah memberikan kepercayaan lagi padaku dan suamiku. Kami diamanahi kembali seorang bayi mungil laki-laki. Di sinilah aku mulai dihadapkan pada pilihan- pilihan yang cukup sulit untuk dijawab dan disikapi. Suamiku tercinta mendekat dan berbisik manja padaku, "Mi, abi pingiiin...", belum selesai bisikannya sudah kupotong,"Abi pingin apa?"
Sembari menyunggingkan senyum khasnya, suamiku melanjutkan, "Mi, abi pinginnya mulai sekarang umi fullday di rumah, merawat anak-anak dengan lebih optimal. Toh, umi juga sudah ngerasain pernah bekerja dan sudah pernah berkarier. Setidak-tidaknya sudah punya cerita dan pernah eksis mengaplikasikan ilmumu. Nah, sekarang saatnya mengajar anak-anak kita di rumah."
"What...!" (Jeritku dalam hati)
Ibarat petir di siang bolong. Aku dihadapkan pada pilihan yang sulit. Meski dulu saat lahir putri ke tigaku , suami juga pernah meminta begitu. Tapi, saat itu baru sekadar wacana atau ancang-ancang dulu. Akhirnya lanjut, mengajar terus. Dan sekarang, himbauan itu benar- benar menjadi sebuah keharusan. Allaahu Akbar! Dengan istikharah meminta petunjuk Allah, jawaban pun nempel di diri. Bismillah, insyaaAllah aku ikhlas menjalankan himbauan abi. Di sinilah, letak kesetiaan kita pada suami diuji. Rela melepas pekerjaan yang telah kugeluti selama hampir 12 tahun. "Bi, atas restumu, umi ikhlas resign dari pekerjaan itu. Atas restumu." Toh, suamiku pun menyampaikan, besok kalau anak- anak sudah mulai besar aku boleh bekerja lagi. Baiklah, sini kupeluk erat kalian semua, anak-anakku.
Jangan tanya bagaimana tanggapan sahabat-sahabat di kantor maupun tetangga. Saat perpisahan, tangis kami pecah bersama. Mengenang kebersamaan selama hampir 12 tahun. Ah, jadi benar- benar baper.
Banyak pula yang menanyakan, "Apa tidak eman- eman melepas pekerjaan yang sudah digeluti 12 tahun?" Tak sedikit pula yang menanyakan, "Di rumah ngapain saja?"
Satu dua minggu rasa sedih memang menyapa. Tapi lambat laun, dengan keikhlasan di hati, hidup jadi terasa ringan. Adem rasanya. Hemm...hidup itu memang pilihan. Setiap pilihan yang kita tempuh, ada konsekuensi yang mengiringi. Jadi, mantapkan hati atas pilihan kita. Terus berhusnudzon pada Allah dan ikhlaskan semua. Niscaya, Allah akan memberikan jalan yang terbaik.
Itulah kisahku...
#30DWCjilid11day19
Adalah kisahku ...
Lima belas tahun yang lalu, tepatnya tahun 2003. Alhamdulillah, hari Sabtu kala itu begitu ceria dan lega. Aku menjalani wisuda di sebuah universitas di Solo. Hari Seninnya, alhamdulillah menjadi hari perdana mengajar di sebuah SDIT di Solo, setelah beberapa hari sebelumnya mendapat panggilan bahwa aku diterima. Status mahasiswaku pun berganti menjadi status 'guru'. Ya, aku resmi menjadi seorang guru seperti cita-citaku sejak kecil. Apalagi, menjadi guru di sekolah yang menurutku cukup sulit untuk bisa memasukinya karena harus berkompetisi dengan ratusan pelamar lainnya melewati beberapa tahapan seleksi.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun pun berganti tahun. Tepatnya tahun 2005, seorang laki-laki sholih dan penyiar radio Islam -yang suara empuknya juga sering kudengarkan...hehehe- datang ke rumah untuk mengkhitbahku. Keberanian meminangku itu tak berselang lama setelah kami melewati ta'aruf. Alhamdulillah, atas izin Allah Swt. pernikahan sederhana kami pun berjalan lancar.
Berselang dua tahun, si kecil nan mungil, ganteng, dan insyaAllah sholih, hadir di tengah-tengah keluarga kecilku. Berasa lengkap sudah kebahagiaan kami. Alhamdulillah. Tahun ketiga setelah kelahiran putra pertama, disusul putri cantikku hadir melengkapi renyahnya keluargaku. Tiga tahun berikutnya, atas izin Allah, kami diamanahi kembali seorang putri cantik. 'Ala kulli hal, alhamdulillah. Rasa syukur kupanjatkan ke hadirat Allah Swt atas amanah ini. Aktivitas sehari-hariku pun masih seperti biasa, mengajar fullday. Anak-anak? Alhamdulillah, anak- anak kubawa serta. Ada yang di penitipan, di tk, dan si sulung di sd tempatku mengajar. Ketiganya di kompleks yang berdekatan, sehingga akupun bisa tenang mengajar sambil memantau anak-anak.
Tak cukup sampai di situ, tiga tahun berikutnya Allah memberikan kepercayaan lagi padaku dan suamiku. Kami diamanahi kembali seorang bayi mungil laki-laki. Di sinilah aku mulai dihadapkan pada pilihan- pilihan yang cukup sulit untuk dijawab dan disikapi. Suamiku tercinta mendekat dan berbisik manja padaku, "Mi, abi pingiiin...", belum selesai bisikannya sudah kupotong,"Abi pingin apa?"
Sembari menyunggingkan senyum khasnya, suamiku melanjutkan, "Mi, abi pinginnya mulai sekarang umi fullday di rumah, merawat anak-anak dengan lebih optimal. Toh, umi juga sudah ngerasain pernah bekerja dan sudah pernah berkarier. Setidak-tidaknya sudah punya cerita dan pernah eksis mengaplikasikan ilmumu. Nah, sekarang saatnya mengajar anak-anak kita di rumah."
"What...!" (Jeritku dalam hati)
Ibarat petir di siang bolong. Aku dihadapkan pada pilihan yang sulit. Meski dulu saat lahir putri ke tigaku , suami juga pernah meminta begitu. Tapi, saat itu baru sekadar wacana atau ancang-ancang dulu. Akhirnya lanjut, mengajar terus. Dan sekarang, himbauan itu benar- benar menjadi sebuah keharusan. Allaahu Akbar! Dengan istikharah meminta petunjuk Allah, jawaban pun nempel di diri. Bismillah, insyaaAllah aku ikhlas menjalankan himbauan abi. Di sinilah, letak kesetiaan kita pada suami diuji. Rela melepas pekerjaan yang telah kugeluti selama hampir 12 tahun. "Bi, atas restumu, umi ikhlas resign dari pekerjaan itu. Atas restumu." Toh, suamiku pun menyampaikan, besok kalau anak- anak sudah mulai besar aku boleh bekerja lagi. Baiklah, sini kupeluk erat kalian semua, anak-anakku.
Jangan tanya bagaimana tanggapan sahabat-sahabat di kantor maupun tetangga. Saat perpisahan, tangis kami pecah bersama. Mengenang kebersamaan selama hampir 12 tahun. Ah, jadi benar- benar baper.
Banyak pula yang menanyakan, "Apa tidak eman- eman melepas pekerjaan yang sudah digeluti 12 tahun?" Tak sedikit pula yang menanyakan, "Di rumah ngapain saja?"
Satu dua minggu rasa sedih memang menyapa. Tapi lambat laun, dengan keikhlasan di hati, hidup jadi terasa ringan. Adem rasanya. Hemm...hidup itu memang pilihan. Setiap pilihan yang kita tempuh, ada konsekuensi yang mengiringi. Jadi, mantapkan hati atas pilihan kita. Terus berhusnudzon pada Allah dan ikhlaskan semua. Niscaya, Allah akan memberikan jalan yang terbaik.
Itulah kisahku...
#30DWCjilid11day19
0 Komentar untuk "Hidup itu Pilihan"