Sekolah Kehidupan
Jumat pagi nan berseri...
Ceritanya, si sulung mengikuti kegiatan PERJUSA (Perkemahan Jumat Sabtu) di Perkebunan Alas Karet Tawang Mangu. Musim hujan begini? Apa nggak kasihan pada anak-anak? Nanti kalau sakit karena kehujanan bagaimana? Begitulah kira-kira kekhawatiran para orang tua. Tetapi, nampaknya memang sekolah juga sudah memperkirakannya. Tidak apa-apa, justru ini benar-benar menempa kekuatan dan ketahanan diri pada anak. Yang terpenting, jaga kesehatan anak-anak sebelum hari-H dan orang tua harus ikhlas melepas keberangkatan mereka. Dan tentunya, doa pun tak boleh terlewatkan.
Demi keperluan aktivitas dua hari tersebut, sehari sebelumnya saya dan anak saya "prepare" segala keperluan yang harus dibawa. Mulai dari kostum, perlengkapan mandi, perlengkapan makan, hingga perlengkapan lainnya. "Packing" jadi satu, masukkan tas, bismillah esoknya siap berangkat.
Tiba hari-H, bi idznillah bismillah berangkat. Saat kira-kira si sulung yang diantar abinya baru saja tiba di sekolah tempat berkumpul, saya melihat sebuah bungkusan kecil plastik warna hitam plus sebuah tongkat bercat merah putih masih nangkring di pojok teras rumah. Bungkusan tersebut adalah nasi putih untuk bekal makan siangnya saat di lokasi. Ya Allah, persiapan sudah sedemikian rupa, masih juga ada yang tertinggal. Mau menyusulkan juga tidak mungkin karena jarak rumah ke sekolah sekitar 20 kilometer. Kalaupun diantar, sampai sekolah juga pasti anak-anak sudah berangkat.
Akhirnya, saya pun menelepon guru si sulung, Pak Yudi. Dan jawab Pak Yudi,"Nggak papa, Bu. Nggak perlu disusulkan. Ini nanti akan menjadi pengalaman berharga untuknya. Dia akan bisa lebih survive ke depannya. Inilah sekolah kehidupan buatnya."
***
Wow, sekolah kehidupan? Kira-kira apa ya, sekolah kehidupan itu?
Nampaknya rasa penasaran itu cukup membuatku ingin tahu lebih dalam tentang sekolah kehidupan. Ya. Sekolah yang kata Pak Gurunya anakku, akan menjadikan anak-anak lebih "survive" ke depannya. Selidik punya selidik, saya menyimpulkan dan membenarkan kata Pak Yudi. Benar juga adanya. Kadang-kadang, adanya sebuah ketidakberesan dalam diri anak, tanpa campur tangan kita justru dia akan mencari pemecahan masalah sendiri. Biarkan hal ini dijalaninya. Maka dia akan menemukan sebuah solusi ala dirinya sendiri. Karena inilah kehidupan nyata yang dijalani anak kita. Dan anak akan belajar dari sini, dari sekolah kehidupan.
Ehmm...hal di atas adalah satu contoh kecil bahwa sejatinya, anak-anak butuh sekolah kehidupan. Yakni pengalaman hidup yang menjadikan anak-anak harus bisa "problem solving" sendiri.
Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah apakah bisa sekolah kehidupan diterapkan dalam sekolah formal sehari-hari? Jawabnya sudah jelas, "pasti bisa". Cobalah sesekali kita izin untuk hadir ke sekolah anak-anak kita, sekadar untuk mengamati pembiasaan yang dilakukan di sana. Saat kita mau mengamati jadwal pembiasaan sehari-hari di sekolah anak kita, sebenarnya kita sedang melihat perilakunya. Contoh nyata, di sekolah anak saya ada kegiatan rutin yang harus dilakukan seluruh warga sekolah tiap pagi yaitu melaksanakan sholat dzuha saat jam istirahat pertama. Sementara, di agama Islam, setiap orang disunahkan untuk melaksanakan sholat dzuha tiap pagi. Berarti sudah jelas, sekolah kehidupan sudah diimplementasikan lewat pembiasaan harian di sekolah formal. Contoh lain, saat sekolah memberlakukan kurikulum life skill bagi anak didiknya, sejatinya hal tersebut juga merupakan implementasi sekolah kehidupan. Anak-anak belajar "life skill" mencuci baju, cara menyeterika, cara nembuat nasi goreng, menyemir sepatu, dan sebagainya. Dari "learning by doing" yang telah dialaminya di sekolah, dia akan bisa menerapkan di kehidupan sehari-hari. Itulah sekolah kehidupan.
#30DWCjilid11day28
Jumat pagi nan berseri...
Ceritanya, si sulung mengikuti kegiatan PERJUSA (Perkemahan Jumat Sabtu) di Perkebunan Alas Karet Tawang Mangu. Musim hujan begini? Apa nggak kasihan pada anak-anak? Nanti kalau sakit karena kehujanan bagaimana? Begitulah kira-kira kekhawatiran para orang tua. Tetapi, nampaknya memang sekolah juga sudah memperkirakannya. Tidak apa-apa, justru ini benar-benar menempa kekuatan dan ketahanan diri pada anak. Yang terpenting, jaga kesehatan anak-anak sebelum hari-H dan orang tua harus ikhlas melepas keberangkatan mereka. Dan tentunya, doa pun tak boleh terlewatkan.
Demi keperluan aktivitas dua hari tersebut, sehari sebelumnya saya dan anak saya "prepare" segala keperluan yang harus dibawa. Mulai dari kostum, perlengkapan mandi, perlengkapan makan, hingga perlengkapan lainnya. "Packing" jadi satu, masukkan tas, bismillah esoknya siap berangkat.
Tiba hari-H, bi idznillah bismillah berangkat. Saat kira-kira si sulung yang diantar abinya baru saja tiba di sekolah tempat berkumpul, saya melihat sebuah bungkusan kecil plastik warna hitam plus sebuah tongkat bercat merah putih masih nangkring di pojok teras rumah. Bungkusan tersebut adalah nasi putih untuk bekal makan siangnya saat di lokasi. Ya Allah, persiapan sudah sedemikian rupa, masih juga ada yang tertinggal. Mau menyusulkan juga tidak mungkin karena jarak rumah ke sekolah sekitar 20 kilometer. Kalaupun diantar, sampai sekolah juga pasti anak-anak sudah berangkat.
Akhirnya, saya pun menelepon guru si sulung, Pak Yudi. Dan jawab Pak Yudi,"Nggak papa, Bu. Nggak perlu disusulkan. Ini nanti akan menjadi pengalaman berharga untuknya. Dia akan bisa lebih survive ke depannya. Inilah sekolah kehidupan buatnya."
***
Wow, sekolah kehidupan? Kira-kira apa ya, sekolah kehidupan itu?
Nampaknya rasa penasaran itu cukup membuatku ingin tahu lebih dalam tentang sekolah kehidupan. Ya. Sekolah yang kata Pak Gurunya anakku, akan menjadikan anak-anak lebih "survive" ke depannya. Selidik punya selidik, saya menyimpulkan dan membenarkan kata Pak Yudi. Benar juga adanya. Kadang-kadang, adanya sebuah ketidakberesan dalam diri anak, tanpa campur tangan kita justru dia akan mencari pemecahan masalah sendiri. Biarkan hal ini dijalaninya. Maka dia akan menemukan sebuah solusi ala dirinya sendiri. Karena inilah kehidupan nyata yang dijalani anak kita. Dan anak akan belajar dari sini, dari sekolah kehidupan.
Ehmm...hal di atas adalah satu contoh kecil bahwa sejatinya, anak-anak butuh sekolah kehidupan. Yakni pengalaman hidup yang menjadikan anak-anak harus bisa "problem solving" sendiri.
Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah apakah bisa sekolah kehidupan diterapkan dalam sekolah formal sehari-hari? Jawabnya sudah jelas, "pasti bisa". Cobalah sesekali kita izin untuk hadir ke sekolah anak-anak kita, sekadar untuk mengamati pembiasaan yang dilakukan di sana. Saat kita mau mengamati jadwal pembiasaan sehari-hari di sekolah anak kita, sebenarnya kita sedang melihat perilakunya. Contoh nyata, di sekolah anak saya ada kegiatan rutin yang harus dilakukan seluruh warga sekolah tiap pagi yaitu melaksanakan sholat dzuha saat jam istirahat pertama. Sementara, di agama Islam, setiap orang disunahkan untuk melaksanakan sholat dzuha tiap pagi. Berarti sudah jelas, sekolah kehidupan sudah diimplementasikan lewat pembiasaan harian di sekolah formal. Contoh lain, saat sekolah memberlakukan kurikulum life skill bagi anak didiknya, sejatinya hal tersebut juga merupakan implementasi sekolah kehidupan. Anak-anak belajar "life skill" mencuci baju, cara menyeterika, cara nembuat nasi goreng, menyemir sepatu, dan sebagainya. Dari "learning by doing" yang telah dialaminya di sekolah, dia akan bisa menerapkan di kehidupan sehari-hari. Itulah sekolah kehidupan.
#30DWCjilid11day28
0 Komentar untuk "Sekolah Kehidupan"