(Perlukah anak -anak tahu kabar Rohingya?)
(7 September 2017)
(7 September 2017)
Pagi -pagi dapat postingan foto -foto kegiatan anak -anak dari sekolah mereka. Maasyaa Allah, buliran air mata terus mengalir menembus pipi. Tak terbendung. Begitu syahdu. Begitu nancep. Begitu haru.
Haru biru...
Haru biru...
Teringat di penghujung malam dan di pangkal hari, tadi pagi. Dialog tentang Rohingya dengan anak -anak. Tentang korban yang berjatuhan. Orang tua. Anak anak. Remaja. Laki laki. Perempuan. Tanpa daya. Tanpa duga. Berderai air mata. Bersimbah darah. Mempertahankan aqidah mereka. Mempertahankan jiwa mereka.
Teringat dialog dengan anak -anak tentang apa peran kita. Tadi malam.Harta bisa dicari. Nyawa tak bisa diganti.
"Ada, umi.", kata anak anak.
"Ada, umi.", kata anak anak.
"Ada doa kita untuk mereka."
"Ada sejumput harapan kita untuk mereka."
"Ada munashoroh kita untuk mereka."
"Ada harta kita untuk mereka."
"Ada sholat ghoib kita untuk mereka."
"Ada sejumput harapan kita untuk mereka."
"Ada munashoroh kita untuk mereka."
"Ada harta kita untuk mereka."
"Ada sholat ghoib kita untuk mereka."
"Mereka mati SYAHID, kan, Mi?"
Saat anak -anak tahu, betapa tak berdaya para korban di rohingya dalam mempertahankan nyawa mereka.
Betapa, mareka tak bisa berpikir lagi, pakaian yang mereka kenakan.
Betapa, mereka tak berpikir lagi, tentang segarnya air mengalir di badan ketika mandi. Betapa, tak berpikir lagi, tentang lezatnya makanan dan segarnya minuman.
Betapa, tak berpikir lagi hidup nyaman di rumah. Rumah mereka dibakar.
Berjuang menerobos hutan di tengah malam, dan menyeberangi sungai tanpa bekal dan alat demi lari dan menyelamatkan diri.
Betapa, mareka tak bisa berpikir lagi, pakaian yang mereka kenakan.
Betapa, mereka tak berpikir lagi, tentang segarnya air mengalir di badan ketika mandi. Betapa, tak berpikir lagi, tentang lezatnya makanan dan segarnya minuman.
Betapa, tak berpikir lagi hidup nyaman di rumah. Rumah mereka dibakar.
Berjuang menerobos hutan di tengah malam, dan menyeberangi sungai tanpa bekal dan alat demi lari dan menyelamatkan diri.
Anak anak langsung berucap.
"Budha myanmar tak tahu diri, Umi. Pengkhianat. Dulu, saat mereka susah karena ditimpa musibah banjir besar, mereka dibantu begitu banyaknya. Sekarang, kau siksa mereka dengan kejam."
Apa mau mereka?"
"Budha myanmar tak tahu diri, Umi. Pengkhianat. Dulu, saat mereka susah karena ditimpa musibah banjir besar, mereka dibantu begitu banyaknya. Sekarang, kau siksa mereka dengan kejam."
Apa mau mereka?"
Perlukah anak- anak tahu tentang saudaranya di Palestina? Di Rohingya? Dan di belahan bumi lainnya?
Tak mampu menjawab pertanyaan ini??
Coba ajak anak kita bicara tentang mereka. Tentang kondisi mereka. Niscaya, mereka akan lebih peka dan lebih tahu arti simpati dan empati sejak dini.
Tak mampu menjawab pertanyaan ini??
Coba ajak anak kita bicara tentang mereka. Tentang kondisi mereka. Niscaya, mereka akan lebih peka dan lebih tahu arti simpati dan empati sejak dini.
Terima kasih, anak- anak, atas dialog kita. Sisipkan doa dan harta kita untuk mereka.
Sesaat sebelum berangkat sekolah:
"Nanti kami sholat ghoib dan munashorohnya di halaman sekolah, Mi."
"Nanti kami sholat ghoib dan munashorohnya di halaman sekolah, Mi."
#saverohingya
#menembusbatasketukpintulangit
#dialogumianak
#gurucerdasspiritual
#terimakasihsditnurhidayah
#menembusbatasketukpintulangit
#dialogumianak
#gurucerdasspiritual
#terimakasihsditnurhidayah
0 Komentar untuk "Menembus Batas Ketuk Pintu Langit"